Rabu, 10 November 2010

TEORI groupthink

Ilustrasi analisis Janis selanjutnya mengungkapkan kondisi Lahirnya konsep groupthink didorong oleh kajian secara mendalam mengenai komunikasi kelompok yang telah dikembangkan oleh Raimond Cattel, yaitu melalui penelitian yang difokuskan pada kepribadian kelompok sebagai tahap awal. Teori yang dibangun menunjukkan bahwa terdapat pola-pola tetap dari perilaku kelompok yang dapat diprediksi, yaitu :

1. Sifat-sifat dari kepribadian kelompok
2. Struktur internal hubungan antar anggota
3. Sifat keanggotaan kelompok

Temuan teoritis tersebut masih belum mampu memberikan jawaban atas suatu pertanyaan yang berkaitan dengan pengaruh hubungan antar pribadi dalam kelompok. Hal inilah yang memunculkan satu hipotesis dari Janis untuk menguji beberapa kasus terperinci yang ikut memfasilitasi keputusan-keputusan yang dibuat kelompok.
Hasil pengujian ilmiah yang dilakukan Janis, menunjukkan bahwa terdapat satu kondisi yang mengarah pada munculnya kepuasan kelompok yang tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan hasil keputusan kelompok yang baik (ineffective output). Asumsi penting dari groupthink, sebagaimana dikemukakan West dan Turner (2007) adalah:

1. Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas tinggi.
2. Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu.
3. Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks.

Perhatikan kisah di awal, bagaimana upaya LSM Bumi Hijau membangun kohesivitas berimplikasi pada pengabaian pendapat personal yang bisa jadii lebih rasional. Kohesivitas ini dibangun atas semangat perjuangan bersama, semangat pengabdian melalui sebuah lembaga nonpemerintah.
Hasil akhir analisis Janis,menunjukkan beberapa dampak negatif dari pikiran kelompok dalam membuat keputusan, yaitu :

1. Diskusi amat terbatas pada beberapa alternatif keputusan saja.
2. Pemecahan masalah yang sejak semula sudah cenderung dipilih, tidak lagi dievaluasi atau dikaji ulang.
3. Alternatif pemecahan masalah yang sejak semula ditolak, tidak pernah dipertimbangkan kembali.
4. Tidak pernah mencari atau meminta pendapat para ahli dalam bidangnya.
5. Kalau ada nasehat atau pertimbangan lain, penerimaannya diseleksi karena ada bias pada pihak anggota.
6. Cenderung tidak melihat adanya kemungkinan-kemungkinan dari kelompok lain akan melakukan aksi penentangan, sehingga tidak siap melakukan antisipasinya.
7. Sasaran kebijakan tidak disurvei dengan lengkap dan sempurna.

nyata suatu kelompok yang dihinggapi oleh pikiran kelompok, yaitu dengan menunjukkan delapan gejala perilaku kelompok sebagai berikut.

1. Persepsi yang keliru (illusions), bahwa ada keyakinan kalau kelompok tidak akan terkalahkan.
2. Rasionalitas kolektif, dengan cara membenarkan hal-hal yang salah sebagai seakan-akan masuk akal.
3. Percaya pada moralitas terpendam yang ada dalam diri kelompok.
4. Stereotip terhadap kelompok lain (menganggap buruk kelompok lain).
5. Tekanan langsung pada anggota yang pendapatnya berbeda dari pendapat kelompok.
6. Sensor diri sendiri terhadap penyimpangan dari konsensus kelompok.
7. Ilusi bahwa semua anggota kelompok sepakat dan bersuara bulat.
8. Otomatis menjaga mental untuk mencegah atau menyaring informasi-informasi yang tidak mendukung, hal ini dilakukan oleh para penjaga pikiran kelompok (mindguards).

Sejalan dengan itu, teori mengenai keputusan kelompok yang dikembangkan oleh Hirokawa, memberikan beberapa kontribusi pemikiran mengenai kesalahan keputusan yang menganggap sepele penyimpulan dari suatu proses pengambilan keputusan, yaitu:

1. Penafsiran yang tidak akurat terhadap suatu permasalahan yang dihadapi oleh kelompok.
2. Sumber gangguan dalam proses pengambilan keputusan, terletak pada ketidaktepatan menentukan sasaran dan objek yang dikaji.
3. Ketidaktepatan menentukan taraf kualitas penafsiran mengenai baik-buruk dan benar-salah.
4. Kelompok sengaja dibiarkan membangun ketidakakurasian dalam mengambil informasi dan sumbernya, kadangkala terjadi penampilan terhadap informasi yang bernilai valid dan sebaliknya. Sedangkan banyak informasi bahkan tidak tertata atau terseleksi dengan baik dan semakin membingungkan, namun informasi yang kurang berarti justru dengan mudah terungkapkan.
5. Kelompok boleh jadi melakukan kesalahan dengan alasan keliru dalam menyerap informasi dari sumbernya, namun hal ini dapat teratasi dengan pendekatan komunikatif dari para anggotanya.

Berdasarkan penelitian yang berkembang pada periode selanjutnya, diperoleh hipotesisi mengenai faktor-faktor determinan yang terdapat pada pikiran kelompok, yaitu (Sarwono, 1999) :

1. Faktor Anteseden
Kalau hal-hal yang mendahului ditujukan untuk meningkatkan pikiran kelompok, maka keputusan yang dibuat oleh kelompok akan bernilai buruk. Akan tetapi, kalau hal-hal yang mendahului ditujukan untuk mencegah pikiran kelompok, maka keputusan yang akan dibuat oleh kelompok akan bernilai baik.
2. Faktor Kebulatan Suara
Kelompok yang mengharuskan suara bulat justru lebih sering terjebak dalam pikiran kelompok, dari pada yang menggunakan sistem suara terbanyak .
3. Faktor Ikatan Sosial-Emosional
Kelompok yang ikatan sosial-emosionalnya tinggi cenderung mengembangkan pikiran kelompok, sedangkan kelompok yang ikatannya lugas dan berdasarkan tugas belaka cenderung lebih rendah pikiran kelompoknya.
4. Toleransi terhadap Kesalahan

Pikiran kelompok lebih besar kalau kesalahan-kesalahan dibiarkan dari pada tidak ada toleransi atas kesalahan-kesalahan yang ada .
Setelah dilakukan pengujian atas berbagai hipotesis tersebut, serta didukung oleh data-data historis dari peristiwa sukses di Amerika khususnya disebabkan oleh proses yang baik dalam pembuatan keputusan kelompok, maka ada beberapa saran untuk pemimpin kelompok, sebagai upaya mencari jalan keluar dari belenggu pikiran kelompok. Untuk itu pemimpin kelompok perlu melaksanakan aktifitas dengan mengkondisikan kelompok seperti berikut ini.

1. Menyampaikan secara terbuka mengenai kemungkinan tumbuhnya pikiran kelompok dengan sengaja konsekuensinya.
2. Ditekankan perlu adanya keberpihakan atas posisi yang lain.
3. Meminta evaluasi secara kritis dari setiap anggota, dengan memberikan dorongan dan menguraikan keraguan.
4. Tunjuk satu atau dua orang untuk menjadi kritikus kelompok.
5. Saat tertentu kelompok perlu dipecah menjadi lebih kecil dan efektif, dan saat kemudian dikembalikan seperti semula untuk memperoleh peran yang maksimal dari setiap anggota.
6. Menyediakan cukup waktu untuk mempelajari keberadaan kelompok lain (saingan), dengan mengidentifikasi tanda-tanda atau pernyataan-pernyataan ataupun kemungkinan lainnya yang dinilai membahayakan.
7. Setelah keputusan sementara dicapai, dimintakan kepada anggota untuk mengevaluasi kembali dalam kesempatan yang berbeda.
8. Menyediakan waktu untuk mengundang pakar-pakar dalam menghadiri pertemuan kelompok, guna mengkritisi atau menolak pandangan kelompok.
9. Membuka kemungkinan adanya anggota kelompok untuk selalu mendiskusikan secara terbuka di forum lain, dengan catatan hasilnya semata-mata untuk kelompok.
10. Membuat beberapa kelompok yang bebas tidak saling bergantung (independent), untuk bekerja secara bersama dalam memecahkan suatu persoalan.


http://edsa.unsoed.net/?p=72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar